Assalamualaikum.w.b.t.
Alhamdulillah..syukur ke hadhirat ilahi kerana diberi kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan yang kini telahpun memasuki hari yang ke 15.Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan berjihad..Jihad menahan nafsu lapar dan dahaga.
Sedikit kisah teladan yang ingin dikongsi bersama rakan-rakan iaitu Jihad Ummu Saad(Ibu kepada Saad).
Ummu Saad,nama sebenarnya ialah Nasibah adalah isteri kepada sahabat Rasulullah yang bernama *Said..beliau dikurniakan dua cahaya mata bernama Amar(15 tahun) dan Saad (13 tahun).Pada satu ketika, sedang Nasibah berada di dapur, dan *Said tidur di kamar.. Nasibah terdengar bunyi gemuruh yang sebenarnya merupakan tentera kuffar yang keluar pergi menyerang Muslim di bukit Uhud.
Nasibah mengejutkan suaminya,Said dengan lembut.Said yang separuh sedar tersentak dan menyesal kerana bukan dirinya yang mendengar bunyi gemuruh tentera tersebut.
Said segera mengenakan pakaian perangnya dan menyiapkan kudanya, Nasibah menghampiri suaminya dan menghulurkan pedang suaminya itu..
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Setelah mendengar kata-kata Nasibah, tiada keraguan bagi Said untuk terus menuju ke medan perang. Tibanya beliau di medan perang, Rasulullah memberikan senyumannya kepada Said.Keberanian Said terus memuncak untuk berjihad.Namun ditakdirkan beliau gugur syahid.
Rasulullah menghantarkan pengutusnya untuk memnyampaikan berita keguguran Said di medan perang.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata pengutus rasulullah, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nasibah tertunduk sebentar,
“Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Nasibah memanggil dan berkata-kata kepada anak sulungnya,Amar,
“Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu t elah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.”
Mata Amar bersinar-sinar.
“Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Putra Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri.
“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu.
“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”
Hari itu pertempuran berlalu dengan cepat. perperangan berlangsung sehingga pagi. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan mereka meunuju ke rumah Nasibah. Setibanya di sana, Nasibah sedang menanti menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nasibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?”
Nasibah menggeleng .
“Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuhantar untuk pergi berjihad? Saad masih kanak-kanak.”
Mendegar itu, Saad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela,
“Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahawa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”
Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyumam terhias di wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan itu.
Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menumpaskan banyak orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menusuk di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah. Mendengar berita kematian itu, Nasibah meremang bulu romanya. “Hai utusan,” ujarnya,
“Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nasibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum.
“Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja ubat-ubatan dan rawatlah t entara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah pun segera mengumpul ubat-ubatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terenjis darah di rambutnya.Kepala seorang tentara Islam terkehel dilibas senjata orang kafir.
Timbul kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya selepas hampir-hampir ditusuk anak panah musuh, Nasibah tidak mampu menahan diri lagi. Nasibah bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tersungkur itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, dia mengamuk. Musuh banyak yang cuba menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun melayang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan melibas sehingga putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak.
Peperangan terus saja berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah sendirian. Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang boleh ditolongnya. Ibnu Mas’ud melihat seseorang sedang bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Isteri Saidkah engkau?”
Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku…..”
“Engkau masih luka parah, Nasibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nasibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang ditewaskan. Namun, karena tangannya sudah kudung, akhirnya tentera kuffar mengambil kesempatan melibas kepalanya sehingga putus.Gugurlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nasibah, wanita yang perkasa.
0 Response to "Ummu Saad"
Post a Comment